jump to navigation

Kenapa [Harus] Menulis? October 24, 2008

Posted by deddyarsya in Basisorak.
add a comment

(disampaikan pada sebuah diskusi sastra di jurusan Sejarah Peradaban Islam IAIN Imam Bonjol Padang)

Oleh Deddy Arsya

Berbicara tentang proses, berarti berbicara tentang suatu rangkaian, rentetan-rentetan yang membuat sesuatu menjadi, atau terjadi. Sesuatu itu: kreatifitas!

Berbicara tentang proses kreatif, saya menjadi agak berat hati. Saya pikir, pada akhirnya, membicarakan proses kreatif seseorang, berarti membicarakan detail-detail kehidupannya, apa yang mungkin mendorongnya untuk berkreatif.

Pada akhirnya, dalam tulisan-tulisan tentang proses kreatif seseorang, kita membaca sebuah biografi singkat. Dan saya merasa, menuliskan proses kreatif sendiri, selalu tidak lebih penting dari penelaahan terhadap karya kreatif itu sendiri.

Sehingganya, saya ingin, proses kreatif yang saya tuliskan ini hanya menjadi satu alternatif di antara begitu banyak alternatif yang menjadi pendorong kawan-kawan untuk menulis, untuk berpuisi, untuk bercerita. Sebab saya tidak pernah yakin, apakah apa yang saya tuliskan sebagai proses kreatif inilah yang mendorong saya menulis puisi, cerita pendek, cerita panjang, atau yang lainnya. Karena, saya pikir, dan saya yakini sejak lama, sebuah karya kreatif lahir dari ketidaksengajaan demi ketidaksengajaan, yang begitu saja meluncur, dan hadir di ruang bawah-sadar dan sadar sekaligus. Pertama-tama, sebuah karya kreatif lahir secara tidak sadar, lalu kita membentuknya menjadi sebuah kerangka yang jelas, seperti membingkai sebuah poto, dengan kesadaran kita yang mungkin tak utuh.

Maka, terimalah tulisan saya ini sebagai sebuah ketidaksengajaan belaka, bahwa apa pun yang saya tuliskan, pada dasarnya, sebuah catatan yang tidak mesti berhasil sebagai media yang membuat kawan-kawan bersemangat untuk berkarya. Karena dengan kesadaran penuh saya katakan, kitalah yang menentukan hidup kita sendiri. Meskipun saya sadar, saya tak punya hasrat untuk menjadikan catatan ini, dan catatan-catatan lainnya yang pernah saya buat, menjadi berharga, bernilai guna bagi manusia.

Bersastra, bagi saya, hanya suatu usaha untuk mengeluarkan muntah. Saya hanya mengejan-ejan batuk yang menggumpal dan nyangkut di kerongkongan saya terus-menerus. Batuk, dahak, muntah; itulah sastra! Ia tidak bisa ditahan-tahan begitu lama. Saya hanya menyelamatkan diri saya sendiri!

***

Saya telah membaca Robohnya Surau Kami sejak masih kelas 4 Sekolah Dasar. Saya masih ingat, saya punya beberapa novel lainnya ketika itu: Sepotong Senja Buat Pacarku-nya Seno Gumira, Hujan Panas dan Kabut Musim-nya AA Navis. Ada pula beberapa judul cerita silat bergambar. Buku cerita bergambar lainnya seperti kisah para nabi, dan azab kubur. Masih ketika Sekolah Dasar, saya punya beberapa majalah Bobo yang dibawa famili saya yang baru kembali dari merantau di Sulawesi. Di samping itu, ayah saya juga berlangganan koran Canang (salahsatu koran terbesar di Sumatera Barat ketika itu). Koran itu baru akan tiba diantar lopernya ke rumah setelah lewat tengah hari. Tentu bisa dimaklumi karena saya tinggal sepuluh kilometer dari kota kecamatan. Nenek saya yang pensiunan pegawai guru sekolah agama juga mendapat jatah tiap bulan, satu ekspemlar majalah Panji Masyarakat. Saya ingat, ada juga beberapa majalah Tempo di rumah kami, entah punya siapa; saya kira, tentulah punya ayah saya. Di perpustakaan sekolah, ada beberapa buku yang saya baca yang masih saya ingat: Si Pahit Lidah (cerita itu sudah pernah diseritakan ayah saya secara lisan). Lebihnya saya sudah tidak ingat lagi.

Bagi saya, bacaan menjadi penting dalam segala hal berkenaan dengan pengalaman kepenulisan saya. Dari sana, saya berkenalan dengan dunia luar, dunia yang sebelumnya tidak pernah singgah sedikitpun dalam pikiran saya. Meskipun, ada hal lain yang tidak bisa saya lepaskan dari perjalanan hidup saya: dongeng masalalu yang ditelurkan bibir ayah saya yang begitu lihai bercerita, mitos-mitos purbani yang dilesatkan nenek dan kakek saya, kehidupan kanak-kanak yang lekat dalam benak, wilayah kebudayaan baik bentang alam maupun manusia tempat di masa saya hidup dan besar, dan lain sebagainya.

Pengalaman itu saya rasakan kadang mengganggu pikiran saya dengan sangat hebat. Setamat sekolah dasar misalnya, saya pindah ke Padang, mengikuti Abang saya yang setahun sebelumnya telah mendaftar dan diterima di sebuah STM. Betapa jauh rasanya kampung bagi saya setelah itu, meskipun jaraknya begitu dekat, tak sampai 100 kilometer. Bahkan sampai hari ini, saya merasa, saya masih terus dibayangi kehidupan masa kecil namun tidak lagi bisa memasukinya—bahkan dengan cara apa pun. Saya tidak punya lagi medan bermain, padang-padang bergelut yang penuh lumpur. Saya sibuk bersekolah dan ikut les. Punya teman sedikit, dan takut bergaul entah karena minder atau entah karena apa. Saya berkenalan dengan sega, playstasion dan game centre. Saya kehilangan medan bermain yang alamiah. Tidak pernah lagi mandi hujan, berkubang-kubang di lumpur, menceburkan diri ke sungai-sungai deras dan dalam, berpanas-panas dan berhujan hingga kulit saya gosong untuk menjala ikan. Rambut saya tidak lagi kuning kemerahan karena matahari. Tidakkah sekarang ini saya telah menjadi orang kota yang gagah?

Dari situ, dari titik inilah, saya pikir, saya mulai masuk perlahan-lahan ke dunia yang sakit! Ke dunia yang kawan-kawan dan banyak orang menyebutnya: Sastra! Saya mulai menulis sajak diam-diam, mencoba mengutarakan cinta pada seseorang dengan puisi—dan tak pernah mengirimkannya. Saya masih membaca. Menyutip beberapa kalimat dalam novel-novel Kahlil Gibran yang ketika itu sedang musim-musimnya. Saya kunjungi toko-toko buku dan perpustakaan. Saya mulai belajar menulis surat cinta seperti surat-surat cintanya Kahlil Gibran; ketika itu saya betul-betul terpesona pada penyair besar itu. Saya mulai membikinkan surat cinta untuk beberapa teman saya. Saya masih ingat, ketika itu surat-suratan masih dibilang wajar dan tidak akan dituduh kampungan. Karena jasa saya itu, kadang saya ditraktir makan. Saya mungkin telah merasa bahwa saya telah menerima bayaran dari apa yang saya kerjakan. Saya tidak begitu ingat apa yang saya rasa dan pikirkan ketika itu.

***

Saya telah menulis hampir tiga buku harian dalam satu tahun. Ketika SMA saya juga pernah menulis buku harian. Buku-buku harian ketika SMA itu saya bakar karena putus cinta, tepatnya: patah hati. Buku harian saya yang terakhir yang tiga biji itu, ada di tangan bekas pacar saya. Pernah saya minta padanya. Dua buku isi 200 lembar itu bukan saya saja yang menulisnya, sebenarnya pacar saya juga. Saya ingin dia belajar menulis juga seperti saya, belajar mengungkapkan pikiran dan perasaannya lewat tulisan. Saya meminta buku itu kembali kepadanya karena saya ingin menulis novel, dan semoga saja ada yang bisa saya dapat dari situ. Mungkin di sana terselip ungkapan atau metafor-metafor yang menyegarkan pikiran saya. Saya tidak tahu, apakah bekas pacar saya itu merasa tersinggung saya menanyakan kembali masalalu kami padanya, tempat segala cita-cita dan harapan kami tumpahkan? Mungkin dia telah membakar buku itu, atau menyimpannya jauh dan rapat hingga tak seorang pun yang dapat menemukannya. Saya kira, agak kurang-ajar mengingatkannya tentang masalalunya itu. Tetapi, dia sekarang sudah punya pacar baru. Seorang perantau! Mereka bertemu di suatu hari raya ketika bujang-bujang kampung kalah bersaing dan kalah pamor dengan pemuda-pemuda pemberani dari seberang pulau dan negeri. Semoga dia bahagia. Dan sampai sekarang, saya tak pernah mendapatkan buku harian saya itu kembali. Saya tidak ingin bertanya lagi.

Lalu untuk beberapa saat setelah itu saya menulis catatan harian saya lagi. Sekarang, karena sudah punya komputer, saya tidak lagi membeli buku harian. Saya kira, ada 30-an halaman catatan harian yang saya tulis, mulai dari catatan bacaan, menanggapi berita di televisi, menanggapi pernyataan teman-teman, apa saja saya tanggapi, apa saja saya tulis, apa saja saya renung dan pikirkan. Bahkan kenapa seorang teman saya tidak mau lagi sembahyang dengan mengatakan, “aku istirahat dulu beberapa hari ini!”

Saya hanya bermain-main dengan pikiran saya sendiri. saya tetap harus berpijak pada pondasi itu. Jika tidak, saya bisa gila menghadapi semua keanehan-keanehan dunia ini. Bermain-main, saya pikir itulah tema besar yang kita persoalkan hari ini, dalam pertemuan ini. Bermain-main dengan pikiran, dengan masalalu, dengan perasaan, dan dengan kata-kata sebagai alatnya. Jangan pernah terbebani dengan kata-kata, jangan sampai diperkuda oleh kata-kata. Tentu logikanya, untuk memperkuda, kita tentu harus bisa mengendalikan sang kuda. Saya pikir, sulitnya manusia menyampaikan apa yang dipikirkannya lewat tulisan karena dia tidak menguasai bahasa tulis. Kita menemukan begitu banyak penceramah, tukang khotbah, ahli pidato, tetapi gagap ketika hendak menumpahkan pikiran-pikirannya ke dalam tulisan. Ada teman yang mengatakan kepada saya suatu kali, “aku banyak ide sebenarnya, sedikit banyak punya jawaban atas beberapa fenomena, tetapi untuk menuliskannya sulit sekali!” Saya kira dia tidak berbohong terlalu besar. Saya mendengarnya berbicara tentang sesuatu; saya tanyakan pendapatnya tentang sesuatu. Jawaban-jawaban yang diajukannya cukup segar dan punya argumen yang kuat.

Jika saya mengatakan, pola-pola berpidato dan berkotbah sudah kadaluarsa untuk zaman kita, dan menawarkan tulisan sebagai media komunikasi massa, saya kira itu pun tidak begitu tepat. Karena dalam kampanye politik, di mimbar-mimbar masjid, di seminar-seminar, bentuk komunikasi lisan tetap berfungsi dan bernilai guna besar. Tetapi, saya hanya ingin katakan, tulisan merupakan jalan (mungkin tidak satu-satunya) untuk menjadikan suatu gagasan punya trade mark sebagai milik yang menuliskannya. Di dalam tulisan, terkandung suatu pengesahan, bahwa suatu gagasan menjadi milik si penulisnya. Tentu saja, hal ini harus melewati percaturan yang tak singkat di sidang pembaca yang luas dan beragam. Dunia kita hari ini juga menghendaki bahwa peradaban yang maju adalah peradaban yang punya tradisi tulisan yang kuat. Arab tidak pernah dianggap maju sebelumnya, jika seandainya Islam (secara langsung atau tidak) mengetengahkan fondasi tradisi tertulis bagi masyarakatnya. Pada masa pra-Islam, maupun beberapa dasawarsa setelah Islam disebarkan Muhammad di jazirah tandus itu, kita menemukan tradisi lisanlah yang lebih dominan. Mereka yang menulis adalah mereka yang lemah ingatan, bodoh, tidak cakap. Syair-syair dihapalkan, tidak ditulis, kecuali beberapa syiar yang dianggap maestro ditulis untuk dipajang di dinding ka’bah. Alquran pun dihapal oleh sekian ratus sahabat, dan hanya beberapa orang yang lemah ingatan yang mencatatnya di kulit-kulit onta, di pelepah korma, di daun palma, di tulang-belulang, dan sebagainya. Tradisi lisan masih dianggap unggul oleh kebanyakan orang Arab hingga mereka bersentuhan secara langsung dengan peradaban-peradaban luar yang punya tradisi tertulis yang kuat. Sebut saja Persia, Mesir, Roma Timur. Peradaban-peradaban besar itu punya sejarah yang cukup panjang tentang bagaimana mereka bersinggungan jauh lebih awal dengan tulisan-tulisan, bahkan ada yang merupakan peradaban tertua yang pertama kali memperkenalkan tulisan, mencetuskan tulisan, membuat hukum-hukum tertulis dan sebagainya.

Minangkabau, bahkan Indonesia secara umum, hampir dapat dipastikan tak memiliki tradisi tertulis yang kuat. Dan saya pikir, sebagai mahasiswa Jurusan Sejarah, kenyataan itu sedikit-banyak menyulitkan kita. Karena dalam penelitan sejarah, sumber tertulis merupakan sumber paling primer di antara semua sumber. Baik itu catatan-catatan perjalanan, jurnal-jurnal, lembarkerja-lembarkerja. Kita bisa saja membantah bahwa metode penelitian sejarah kita dicaplok dari Eropa. Padahal dalam Islam, metode penelitian sejarah tidak terlalu mengagungkan sumber-sumber tertulis. Misalnya, kita bisa memakai metode pengumpulan dan penyusunan hadits yang ternyata tidak terlalu begitu mengagung-agungkan sumber tertulis. Di dalam metode penelitian sejarah sendiri, sumber-sumber lisan pun ternyata bisa dipakai. Namun, bagaimana mungkin mendapatkan data-data yang valid dan terpercaya tentang kejadian sepuluh abad yang lalu? Jangankan sepuluh abad yang lalu, peristiwa PRRI saja kita sulit melacaknya jika hanya mengandalkan data dari sumber-sumber lisan?

Aku pikir, kita telah terlalu jauh melanglang-buana ke mana-mana.

Setidak-tidaknya di akhir tulisan ini saya ingin mengutip sebuah pepatah kuno Yunani, “apa-apa yang diucapkan akan hilang bersama angin, sementara apa-apa yang dituliskan akan mengabadi!”

Banyak yang harus kita kerjakan jika badan dan jiwa kita tetap sehat dan bersemangat untuk mengerjakannya. Semoga kita sehat dan bersemangat terus!

Politik Tubuh October 24, 2008

Posted by deddyarsya in Basisorak.
add a comment

Oleh Deddy Arsya

Apa yang mencemaskan dari usia 13 tahun? Adalah film komedi remaja berjudul “13 Going On 30” berkisah seputar ini. Tentang gadis remaja 13 tahun yang bergelut dengan berbagai persoalan diri maupun luar dirinya, yang menyangkut tubuh dan hubungannya dengan tata-pergaulan. Dalam film tesebut, ada beberapa kesamaan plot (alur cerita) dengan beberapa sinetron remaja yang menjamur di berbagai stasiun televisi belakangan ini, yang bergelut dengan kehidupan remaja yang verbal dan hedonis. Tetapi kita tak hendak mempermasalahkan hal itu. Dalam film itu, ada keterbelahan pergaulan, dua kutub yang terbentuk dan saling berseberangan antara cantik jelita dan buruk rupa di sisi lain.

Gadis remaja usia 13 tahun itu, Jenna, berada pada posisi yang terakhir (tidak cantik!). Posisi yang sama sekali tidak diinginkan, karena tidak menguntungkan, dan cendrung membuatnya tersisih dari pergaulannya di sekolah. Sekolah, tempat di mana golongan pertama (cantik jelita) menjadi patokan, sebuah bayangan kesempurnaan. Maka posisi “cantik” diimpi-impikan setiap orang, tak terkecuali oleh Jenna.

Tubuh, lambang kecantikan itu, (semacam payudara, rambut, alis mata, bibir dan lainnya), mulai diperhitungkan. Kecantikan lalu dibentuk dan ditegaskan oleh tata-benda-benda, (aksesories: anting-anting, gelang, cincin, make-up, lipstick, pernak-pernik, kemilau eyeshadow, dan segala macamnya). Antara cantik dan buruk rupa semakin ada jarak. Terbentang nganga. Sehingganya ada perjuangan kelas yang dilakukan oleh Jenna untuk dapat masuk dalam pergaulan golongan atau kelompok pertama. Segala upaya dikerahkan untuk menerobos ke level itu. Payudara yang belum penuh benar, diganjal kertas tissue agar terlihat penuh dan padat. Di pihak lain, pun ada usaha yang dilakukan untuk mempertahankan kecantikan, yang otomatis diperhitungkan.

Tubuh, postur, menjadi beban bagi seorang gadis remaja 13 tahun, yang dipengaruhi dan serta merta kemudian berkiblat pada lakon-lakon imajiner yang diperankan model yang dilihatnya di berbagai majalah remaja dan televisi. Mode menjadi agama baru. Dan model, artis-selebritis, menjadi Nabi yang tak tunggal. Tubuh dipermainkan, menjadi korban dari waktu dan usia yang bergerak tak berketentuan. Ia pesakitan bagi jiwa di dalamnya, bagi pandangan dan pikiran yang menyertai dan menguasainya sekaligus. Tubuh adalah budak-budak yang kehilangan kedaulatan di depan hasrat. Hasrat yang lebih sering dibentuk bukan oleh pikiran dari dalam jiwa yang jernih, tetapi dari pandangan terhadap dunia luar yang bernama mode. Tubuh kemudian dipermak semau hasrat. Ia lemah dan guyah.

Di sanalah masalah kemudian muncul. Ibu Jenna, dalam sebuah dialog mengatakan, “Tapi dia bukan orang, dia model!” Si ibu barangkali lupa bahwa kecantikan adalah gerbang, atau sebuah cerobong yang menganga ke angkasa. Dan angkasa adalah tempat di mana nilai diri mulai dikembangkan, semacam sayap untuk melanglang buana ke dunia lapang tanpa batas. Hanya kecantikan yang mampu membawa ke arah itu, ke suatu tatanan pergaulan yang dianggap tinggi.

Semua berpangkal dari kecemasan. Kecemasan seorang ibu yang melihat tubuh anak gadisnya tumbuh. Di tengah tata pergaulan yang tidak terkontrol dan sering lepas, maka tubuh yang akan bergerak sempurna adalah petaka. Tubuh menjadi lambang seksualitas yang kejam. Saya kutipkan lagi sebuah dialog, “Sebab bagi mereka, tubuh wanita begitu menawan!”

Cantik itu memang mahal—sekaligus Luka (meminjam Eka Kurniawan). Karena selain ciptaan aksesories, cantik juga membutuhkan perawatan yang tidak sedikit untuk tetap mempertahankannya. Kecantikan berhubungan dekat dengan salon, pusat kecantikan, medipyur, spa, rebonding, mandisusu, mandimadu, mandikembang, dan segala tetek-bengek lainnya. Cantik menjadi semacam kekuasaan. Ia dijaga, dipertahankan, atau secara diam-diam coba untuk direbut dan dijajah.

Kahlil Gibran dalam sebuah kisah pendek, “Di Pekan Raya” mengisahkan tentang perempuan cantik yang datang ke sebuah pekan raya, merasa kesepian dan tidak ada arti, hanya karena tidak ada pemuda-pemuda yang mau menggoda dan mendekatinya. Barangkali kecantikan perempuan itu terasa mengawang bagi mereka, semacam barang mewah yang dipajang di etalase-etalasa mall dan plasa-plasa yang hanya boleh dipandang, tetapi tidak untuk dimiliki. Kecantikan pada akhirnya tidak hanya menjadi beban pemiliknya, tetapi juga menjadi beban bagi orang lain. Saat itulah kecantikan menjadi tak berwujud. Ia hanya bayangan hasrat.

Apa yang mencemaskan dari usia “13 tahun”? Barangkali pada fase itu, tersirat berbagai impian, ketakutan para ibu, dan kegundahan atas perubahan tubuh … (sebuah dialog lagi saya kutipkan dari film di atas), “Saya tidak ingin kreatif, saya ingin keren!

Sayang sekali, film komedi ini tidak membuat saya tertawa! Ha!

Penyair [Muda] 5 Kota, Apa yang Kalian Bicarakan? October 24, 2008

Posted by deddyarsya in Uncategorized.
add a comment

(catatan dari Forum Penyair 5 Kota, 27-30 Maret 2008, di Payokumbuh)

Oleh Deddy Arsya

Pertemuan Penyair 5 Kota (Padang, Lampung, Bandung, Jogja, dan Bali) diadakan di Payakumbuh 27-30 Maret 2008. Terlepas dari berbagai kepincangannya (Bandung yang tidak bersedia ikut, Bali dan Lampung yang tak bisa datang karena kendala finansial, dan beberapa permasalahan lainya), telah meninggalkan beberapa catatan.

Zen Hae sebagai pemakalah yang didatangkan langsung dari Jakarta memberikan “kuliah puisi” di hari pertama. Membaca kecendrungan perkembangan puisi Indonesia hari ini, Zen bertolak dari puisi-puisi Aan Mansur, di usianya yang ke-28, telah menghasilkan buku puisi. Oleh Zen, puisi-puisi Aan Mansur, penyair muda Makasar itu, dibahas, ditelanjangi, didedah.

Menurut Zen, di tengah kecendrungan puisi hari ini yang gila dengan metafora-metafora ganjil, estetika puisi yang hendak dicapai, sehingga terkadang membuat logika puisi jadi sering bermasalah, sintaksis yang terabaikan, puisi Aan menjadi bentuk perlawanan tersendiri. Aan, kata Zen, mencoba hadir dengan kalimat yang bersahaja dan bening.

Membahas puisi Aan Manusur, sontak Zen ditentang oleh beberapa orang yang lebih mengaharapkan Zen membicarakan puisi-puisi peserta, atau membaca kembali peta kepenyairan Indonesia hari ini, setidak-tidaknya di lima kota itu. Sempat keluar pertanyaan dari seorang peserta, puisi atau penyair yang diperbincangkan kalau begitu? Kalau seandainya puisi yang diperbincangkan, tidakkah sebaiknya forum ini dinamai pertemuan puisi?

Menanggapi itu, Zen selanjutnya mengatakan, ia tak punya kapasitas untuk membahas puisi-puisi peserta (yang telah dibukukan ke dalam “Kampung dalam Diri”). Karena ia tak diminta untuk itu, bukunya juga tak dikirim padanya oleh panitia. Ia hanya diminta panitia untuk membahas puisi hari ini dengan kaca matanya sebagai penyair. Ia juga menolak untuk membicarakan puisi dengan memakai kaca mata sosiologi sastra; ia menolak puisi dikait-kaitkan dengan keadaan masyarakat tempat penyairnya melakukan proses kreatif. Dengan begitu ia menolak membicarakan kepenyairan.

Romi Zarman secara lebih tegas mengatakan, bahwa kepenyairan di Sumatera Barat tidak ada. Yang ada hanya puisi. Ketika puisi tercipta, kata Romi, dunia di luar itu menjadi lenyap, menjadi tak ada. Romi mungkin benar di satu sisi, tetapi sekaligus tidak tepat di sisi lain.

Di tengah hiruk-pikuknya dunia kepenyairan kita, di mana puisi cendurung kalah pamor dibandingkan penyairnya, apa yang dikatakan Romi punya alasan yang cukup untuk dibicarakan lagi. Ia seakan menyentil, betapa, selayaknya bukan penyair yang menjadi besar dan dikenal, tetapi puisi itu sendiri. Bukan kepenyairan yang dibahas, tetapi puisi. Romi mungkin juga berpijak pada konsep tradisi, dalam pantun dan dendang lama misalnya, yang tidak dikenal siapa pengarang sebuah pantun, tetapi pantun itu diingat, dilagukan, didendangkan, dipakai, dan menjadi acuan berkehidupan. Kalaupun tersebut, ia seakan menjadi tak ada di tengah keberadaanya. Begitulah selayaknya puisi. Romi mungkin menginginkan tatanan ideal seperti itu. Dunia kepenyairan menjadi tak penting baginya, menjadi tak ada. Lenyap!

Namun, puisi, kepenyairan, dan pembaca semestinya tidak dipertentangkan. Di dunia hari ini, di mana kecendrungan puisi baru mendapat tempat di tengah masyarakat lewat media, dengan “dijual dan dijajakan” ke “pasar”. Puisi yang tegak berdiri sendiri tanpa acuh pada permasalahan kepenyairan, tanpa mempertimbangkan pembaca (termasuk di dalamnya para redaktur koran dan majalah, maupun penerbit), mungkin sulit untuk hadir dan diterima. Apalagi puisi menjadi komoditi yang bisa diikutkan dalam berbagai sayembara dan pertarungan-pertarungan kepenulisan.

Sementara itu, Sudarmoko mencoba menelisik dunia kepenyairan hari ini di Sumatera Barat. Di samping mengingatkan nama-nama penyair, ia sekaligus mengingatkan kita pada keberadaan komunitas-komunitas sastra yang banyak bermunculan beberapa tahun belakangan di daerah ini.

Dalam makalahnya, Sudarmoko mengatakan, bahwa komunitas-komunitas menjadi medan pergulatan dalam mengisi energi kreatif para penyair. Energi ini dikembangkan lebih lanjut dalam proses personal yang sunyi. Tarik menarik antara proses komunal dan personal ini, disebutnya sebagai proses yang menyebar dan memusar. Jika kita lihat, proses seperti ini memang hampir sama di setiap daerah. Hanya geliat dan semangatlah yang membedakan.

Selanjutnya, komunitas sastra, dalam telisik Sudarmoko, memberi peluang yang sangat besar bagi perkembangan proses kreatif penyair. Namun, ada bahaya lain yang selayaknya diwaspadai, seperti juga disinggung Zen pada diskusi sehari sebelumnya, bahwa komunitas sastra dapat menciptakan keseragaman. Apalagi jika komunitas itu mempunyai, atau “dipunyai”, oleh seorang “imam” pula.

Dalam tertemuan ini pula diputuskan, Siak akan menjadi tuan rumah pertemuan penyair tahun berikutnya. Siak? Hmmm…

Padang, 2008


Zaman yang [tak] Membutuhkan “Manusia” October 24, 2008

Posted by deddyarsya in Basisorak.
add a comment

(Pengantar untuk kumpulan cerita pendek Zelfeni Wimra “Orang Kampung Hilang”)

oleh : Deddy Arsya

Aku sakit empat hari. Lalu dua hari berikutnya tak mampu menegakkan diri. Aku tak menghidupkan televisi. Tak memutar lagu apa pun. Dendang hanya menganjurkan bunuh diri. Rabab hanya membuat angan-angan panjang. Tidak juga radio. Tidur dan bangun begitu saja sekehendaknya.

Empat hari. Lalu dua hari. Lalu di hari berikutnya aku sudah naik angkutan kota lagi. Sesekali mencoba naik bus kota dengan jalur pulang-pergi yang agak berbeda. Tetapi sama saja. Aku hanya akan berbicara dengan diri sendiri. Aku hanya akan belajar memandang sekeliling dengan mata yang berbeda setiap hari. Aku menggosok-gosok tepi mata, mengeluarkan sapu tangan berwarna lautan dari saku belakang, seperti seorang ksatria mengeluarkan pedang. Aku mencoba menganggap aneh setiap yang kulihat. Mencoba tersesat di kota yang begitu kukenal bertahun-tahun. Untuk menemukan sesuatu yang baru dan menakjubkan, kadang kita mesti tersesat, bukan?

Aku duduk bersisian dengan seorang lelaki dengan dua mata yang aneh, dengan gigi yang berderet panjang-panjang seperti srigala, rahangnya seperti lepas hingga ke dada, tak biasanya. Di depanku, perempuan dengan hidung yang seperti berbelok ke kiri, berjubah, seperti tengah mengenakan sebuah rumah di musim dingin. Seorang anak sekolah dasar dengan kaki yang seperti penuh lumut menatap keluar jendela di sudut sana. Perempuan tua dengan keranjang yang berisi semangka, di sudut lainnya. Aku membayangkan semangka-semangka itu berisi kamu: mungkin pacar lama, teman yang hilang; kawan yang jatuh ke dalam sumur dengan sekujur tubuh yang remuk (seperti dalam My Name is Red, Orhan Pamuk) dan ruh-nya tak pernah bisa naik lagi; kerabat yang pergi dengan kapal ke sebuah pulau dan tak pernah pulang sekian hariraya….

Aku sudah melewatkan masa empat hari yang melelahkan, lalu dua hari yang tak bisa apa-apa. Tak bisa membaca, tak bisa menulis satu kalimat pun, dan mencoba tak memikirkan sesuatu yang berbahaya. Aku seperti sepetak kamar yang penuh sesak. Aku ingin menulisi dinding-dinding diriku dengan gambar-gambar yang pernah hidup dan kukenal. Kadang aku sulit membedakan mana diriku dan ruang yang aku tempati. Kadang ruang itu aku kenali sebagai sepetak kota yang tak pernah berhenti berhiruk. Hujan bagai jarum menabur. Debu-debu seperti serpihan tembaga. Aku berada, nun, di kedalaman lubang sebuah tambang batubara, atau di gua penggalian emas hitam yang ditinggalkan Belanda ratusan tahun.

Aku telah melewatkan masa empat hari itu, lalu dua hari berikutnya, dengan hanya sesekali melihat matahari. Lalu di hari berikutnya aku kembali menyaksikan iklan-iklan di sekelilingku. Baliho-baliho yang berubah menjadi kapal-kapal selancar. Kabel-kabel di atas kepala memantulkan bayangan-bayangan hitam pada dinding-dinding bus kota, mobil pribadi, dan angkutan kota. Aku melihat bayangan itu seperti kepak naga hitam dalam cerita silat yang dibelikan ayahku ketika kecil dulu. Tiang-tiang listrik seperti jarum-jarum panjang dan sampai ke langit. Aku membayangkan bisa sampai ke lapis paling jauh dari angkasa dengan menaiki tiang-tiang itu. Aku mencoba menghibur perasaanku dengan memasuki plasa seperti memasuki sebuah akuarium raksasa. Membayangkan diri seekor ikan lohan, berenang-renang tanpa memikirkan apa-apa. Orang-orang hanya lumut-lumut yang seperti akan lepas. Hijau, biru, merah ….

Tak ada orang yang memungkinkan diajak berbicara hari ini. Di atas angkutan kota, di tepi jalan raya, semua mereka tak ada yang kukenal. Ibuku, ibumu, ibu Anda, mengajarkan hanya boleh berbicara dengan orang yang dikenal. Ayahku, ayahmu, ayah Anda mengatakan: ini kota besar!

Aku menaiki angkutan kota lagi. Aku pulang-pergi dengan jalur yang itu-itu juga. Kadang aku memutuskan naik bus kota, melewati jalur yang agak sedikit berbeda. Kadang memutuskan berjalan kaki sampai letih sendiri. Aneh. Aku berkata bukan tentang Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan …. Aku tak pernah ke sana.

Aku memasuki pasar. Jalan-jalan bertambah ramai setiap hari. Entah hari apa ini. Senin, selasa, rabu, kamis, dan seterusnya. Aku tak bisa tak peduli. Merapalkan hari, merapalkan bulan, tahun perkawinan, hari ulang tahun seseorang, jadwal ujian ….

Aku mencari seseorang. Aku menuju beberapa orang. Mungkin sebuah pertemuan yang kebetulan, yang tak pernah direncanakan. Aku ingin ada yang berteriak di pangkal telingaku, yang datang dari masalalu, atau yang sama sekali baru. Aku ingin bercakap-cakap panjang dengan seseorang yang tak pernah kukenal sebelum, seperti dalam sebuah film Prancis yang mengasyikkan, tanpa perlu bertukar nomor telepon, tanpa perlu tahu asal-usul. Hanya karena ingin merasa memiliki seseorang teman baru.

Kini aku berdiri dalam sebuah bus kota yang sesak penumpang itu lagi. Di dalamnya, orang-orang dengan tubuh seperti kaca, seperti patung es, seperti balok-balok kristal, seperti kayu-kayu gelondongan yang baru saja dikeluarkan dari sungai, seperti tumpukan kertas basah, seperti kain lap lembab yang disusun tak rapi. Tubuh-tubuh mereka kadang memantulkan diriku. Aku lihat tubuhku di dalamnya serba penyok. Tak berapa lama lagi, tubuhku menjadi pecahan-pecahan yang jatuh berantakan. Atau angin dari jendela bus itu akan menerbangkan helai demi helai tubuhku, dan berserakan di jalan-jalan. Digilas bus kota lainnya. Aku masih juga belum bisa keluar dari sepetak kamar yang terus juga aku tempati ke mana pun aku hendak pergi.

Aku ingin turun dari bus kota itu. Aku ingin maju ke depan, membisikkan sesuatu pada kondekturnya. Di sini, di sini, Pak! kataku. Tapi setiap aku melangkah maju, tubuhku bergesekan dengan patung-patung es itu, balok-balok kristal, kayu-kayu gelondongan yang baru saja dikeluarkan dari sungai, tumpukan kertas basah, seperti kain lap lembab yang disusun tak rapi …. Tubuhku ikut menjadi dingin, lembab, kadang gersang. Aku masih mendengar suara musik menghentak-hentak dalam bus itu. Seperti mengiringi para sufi yang tengah menuju puncak fana, patung-patung es itu melentur, bergerak ke kiri dan ke kanan tak teratur. Mereka seperti tengah hidup dalam musik yang lain, entah di mana. Aku hanya bisa menebak: Gerakan tubuh mereka tidak sealunan dengan irama musik yang aku dengar.

Aku menyaksikan patung-patung es itu hancur berserakan. Aku tak mengenali siapa pun dari mereka. Mereka hanya pecahan-pecahan kaca yang direkatkan tak beraturan hingga membentuk postur. Postur yang kusebut sebagai diri. Apa engkau yakin dengan dirimu di tengah kota yang tak henti berhiruk ini?

Aku masih mendengar suara musik di atas bus itu, seperti berkejaran menyerbu telingaku. Aku ingin masuki taman kota, bermimpi memiliki sebuah keluarga dengan empat orang anak yang lincah dan sehat-sehat. Aku lelah. Aku ingin mencebur ke dalam kali yang mengalir di sisi trotoar tempat aku berjalan sekarang, melenyapkan semua bayangan-bayangan tentang masadepan. Aku seperti mandi dalam air yang hitam dan bau. Aku kembali membayangkan motif-motif yang berbeda, mencari-cari alasan yang mungkin menenangkanku, tentang untuk apa aku harus pulang-pergi lewat jalur yang sama setiap hari.

Entah di hari ke berapa setelah empat hari itu, lalu dua hari berikutnya. Aku mulai membaca satu persatu dari 20 cerita pendek dalam buku ini. Aku seperti membaca deretan manusia yang gampang keropos. Manusia yang akan dengan mudah dikalahkan kitaran waktu, laju kota yang cepat, hiruk-pikuk jalan-jalan yang tak akan sempat kita renungkan.

Jumin bin Kahwaini, Wan Tulin, Alifdal, Nek Syamsiah, Nurma dan Zami, Kakek Tukang Pelaminan, sederet ibu-ibu …. Ah, adakah zaman kita sekarang ini tak menghendaki lagi manusia seroman “manusia-manusia” itu? Atau adakah kita tampaknya masih butuh yang bersahaja, yang eksotis, yang tidak hadir sebagai manusia yang terus bergegas; bukan “bunga dari Peking” (seperti adalam cerita ZW yang lain), tetapi bunga yang dipetik langsung dari tangkainya?

Padang, 2008

Manusia Si Perusak October 22, 2008

Posted by deddyarsya in Basisorak.
add a comment

Oleh Deddy Arsya

Manusia berada dalam pengaruh dorongan untuk merusak, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap oranglain, dan tidak banyak pilihan yang dapat ia lakukan untuk melepaskan diri dari pilihan tragis itu. (Sigmund Freud)

Pada diri manusia bersemayam dua sifat dasar yang saling berseberangan. Konstruktif dan destruktif. Sifat membangun perlu dikembangkan, dijaga dan disebarluaskan. Tetapi bagaimana dengan sifat merusak dan menghancurkan?

Sifat destruktif ini bisa saja diredam tentu saja. Tetapi meredam sifat destruktif manusia cenderung sulit, dan mungkin tak banyak yang mampu. Jika diredam, dorongan merusak ini bisa menjadi bola salju yang akan terus-menerus besar, dan melabrak suatu waktu dengan kekuataan penuh. Akibatnya tentu akan jauh lebih tak terbayangkan.

Di lain hal, jika sifat destruktif manusia ini disalurkan, akan berakibat tidak baik. Perang, berkelahi, membuat rusuh adalah di antara bentuk penyaluran itu. Bentuk-bentuk penyaluran itu tidak ada yang menguntungkan manusia, hampir semuanya merugikan, berakibat buruk.

Namun, dalam perkembangan kebudayaan, ketika manusia tidak lagi menggunakan tangan untuk berjalan, manusia mencari pola-pola lain untuk menjadikan sifat destruktif ini tidak berefek-samping terlalu besar. Orang-orang meninju-ninju bantal untuk meredakan emosi, atau berteriak sekeras-kerasnya untuk melepaskan dendam dan depresi. Menjadikannya berbingkai damai dan toleran.

Beberapa kebudayaan punya penyaluranya tersendiri atas sifat destruktif ini. Di negara Sakah dan Sweta, kota Mataram, Lombok, sejak 1838 lalu secara turun temurun digelar tradisi Perang Api. Tradisi yang merupakan rangkaian acara menyambut Hari Raya Nyepi ini dilakukan dengan saling serang menggunakan api yang disulut pada bobok (suluh yang disatukan).

Di Papua, perang suku terjadi hampir setiap tahun. Korban-korban berjatuhan. Pemerintah dan pihak keamanan pun sering dibuat pusing. Namun bagi masyarakat suku Amungme, salah satu suku di Papua, perang suku tidak lagi dilakukan untuk saling membunuh. Kini perang suku di sana hanya sekedar saling mengejar, menyorak, mengacung-acungkan busur panah seperti ingin menembak, dan saling menggertak saja. Tidak ada lagi kematian dari perang antarsuku yang dilakukan oleh suku Amungme. Masyarakat justru semakin mendapatkan arti dari hidup bersama dengan berbagai perbedaan yang dimiliki oleh masyarakat lain.

Di desa Tenganan, tradisi perang pandan atau yang sering disebut mekare-kare dilakukan oleh para pemuda dengan memakai kostum kain adat Tenganan, bertelanjang dada bersenjatakan seikat daun pandan berduri dan perisai untuk melindungi diri. Tradisi ini berlangsung setiap tahun sekitar bulan Juni, biasanya selama 2 hari.

Di desa Tegalsambi, Jawa Tengah, upacara tradisional perang obor diadakan setahun sekali, yang jatuh pada Senin Pahing Malam Selasa Pon Bulan Besar (Dzulhijah). Obor pada upacara tradisional itu adalah gulungan dua atau tiga pelepah kelapa yang sudah kering dan bagian dalamnya diisi daun pisang kering (klaras). Obor itu dinyalakan bersama untuk digunakan sebagai alat saling menyerang sehingga terjadi benturan-benturan obor yang mengakibatkan pijaran api.

Di Minangkabau, ada tradisi adu kerbau dan sabung ayam. Adu kerbau masih tetap dilangsungkan hingga kini. Bahkan masuk daftar kunjungan wisata. Sementara sabung ayam belum sembuh dari stigma buruk. Padahal, sabung ayam di samping sebagai hiburan rakyat juga merupakan bentuk penyaluran dari sifat destruktif manusia itu tadi. (Bentuk penyaluran ini misalnya, seperti telah disebutkan, juga dapat ditemui dalam “Menang Kerbau” yang mengalihkan perang hulubalang menjadi perang antar kerbau). Meskipun sabung ayam atau adu kerbau merupakan perang antar binatang, tetapi perang ini sebenarnya juga melibatkan manusia secara psikis di dalamnya. Dalam sabung ayam, seperti juga adu kerbau, ada keterbelahan dukungan di antara para penontonnya. Masing-masing pendukung biasanya punya cara-cara tersendiri dalam menanggapi persabungan. Misalnya, dengan ikut merentak-rentak seperti ayam, mematuk-matuk, dan meninju-ninju kehampaan. Masing-masing pendukung barangkali “masuk” ke dalam atau “menjadi” ayam yang sedang bersabung. Yang jelas, secara tidak langsung, sifat merusak manusia telah dilepaskan sedikit demi sedikit lewat praktek sabung ayam ini yang lebih toleran. Mereka menentukan pilihan atas hasil pengamatan mereka terhadap ayam sebelum atau ketika akan dipersabungkan. Ada pilihan yang dijatuhkan karena melihat kokoh-tidaknya tubuh ayam, gerakan leher atau kakinya yang lincah. Sementara pihak kedua mempunyai pendapat yang lain pula tentang ayam yang didukungnya. Inilah masa ketika keyakinan terhadap sesuatu kebenaran dipertaruhkan.

Beberapa sumber lisan mengatakan, sabung ayam mulanya tidak menggunakan taruhan dalam bentuk materi, tetapi hanya dalam bentuk prestise, harkat-martabat seorang lelaki di gelanggang, dan kepuasan diri semata. Namun, kalah dan menang, agar terasa tak hambar, mesti mengorbankan sesuatu (dalam hal ini materi). Dalam artian lain, dalam pertarungan itu, ada yang berlaba dan merugi. Bentuk laba dan rugi itu diwujudkan menjadi lebih nyata, dengan adanya pemasangan taruhan uang atau benda.

Dalam Tambo, seperti yang disebutkan sebelumnya, adu kerbau dalam “Menang Kerbau” juga menggunakan taruhan, bahkan kerajaan Pagaruyung yang dijadikan taruhannya. Jika Pagaruyung kalah dalam adu kerbau itu, kerajaan akan diserahkan kepada pihak yang menang. Betapa mencemaskan, betapa mendebarkan.

Namun, pada dasarnya, pemasangan taruhan bukan yang utama dalam sabung ayam. Dalam artian lain, sabung ayam tidak untuk mencari keuntungan materi hasil taruhan, tetapi tak lebih hanya sebagai hiburan semata. Tetapi yang terpenting, secara sadar atau tidak, praktek tradisi ini telah membantu manusia, penonton dan orang-orang yang terlibat dalam persabungan, meredakan ketegangan atau sifat destruktif tadi.

Tak diketahui dengan pasti, sejak kapan “taruh” mulai menjadi tujuan utama persabungan. Di samping itu, sabung ayam yang sebelumnya tidak pernah sampai membunuh ayam, berkembang pula menjadi persabungan yang memberi pisau pada taji ayam yang dipersabungkan. Praktek inilah satu di antara banyak praktek adat lain yang kemudian ditantang kaum Padri di awal abad ke-19. Pelarangan-pelarangan ini semakin semarak dan berubah keras di beberapa tempat apalagi setelah kedatangan tiga haji dari Makkah. Karena bertaruh dalam ajaran yang mereka bawa adalah judi adalah haram. Selain itu, menyabung ayam menganiaya makluk Tuhan. Sabung ayam bahkan menjadi salah satu penyulut perang dengan kaum adat yang tetap ingin mempertahankan sabung ayam sebagai tradisi mereka. Walaupun barangkali bukan sabung ayam yang menjadi soal pokok pertentangan itu, tetapi lebih karena hegemoni penghulu yang telah tergantikan para pidari.

Sebelum Orde Baru mencap rata para penyabung ayam sebagai komunis dan menangkapi mereka. Di beberapa daerah di Sumatera Barat, perhelatan perkawinan, turun mandi, bersunat anak, masih tetap menjadikan sabung ayam sebagai hiburan di samping berdendang dan berabab. Ya, seperti orgen tunggal hari ini.

Sementara itu, di dunia modern hari ini, sifat destruktif manusia ini disalurkan, misalnya melalui pertarungan tinju. Para penonton akan bersorak, memukul angin, berteriak-teriak kesal kalau jagoannya kena pukulan lawan. Penonton akan mengikuti gerak jagoannya, mengelak ke kiri dan ke kanan menghindari pukulan lawan, kadang merunduk dan meninggi (seperti ayam).

Pengaluran lain misalnya dilakukan dengan bermain game. Banyak game-game berkelahi yang diproduksi, dan dimainkan di depan layar televisi. Namun belum ada ditemukan penelitan lebih lanjut mengenai pengaruh bermain game ini terhadap sifat destruktif manusia.

Ah, manusia…

Padang, 2008

Menimbang Euforia October 22, 2008

Posted by deddyarsya in Uncategorized.
add a comment

Oleh Deddy Arsya

Manusia tidak bisa mengembalikan masalalu utuh dan seluruh, bahkan “sesenti” pun tidak. Meskipun Ibnu Khaldun mengatakan bahwa sejarah seperti sebuah siklus, yang berulang, ada jatuh dan bangun secara bergantian terus-menerus; seperti lingkaran, kita bisa kembali ke titik awal di mana kita memulai. Namun, Ibnu Khaldun tidak mengatakan bahwa bangkit dari keterpurukan adalah berarti “kembali”. Tetapi membangkit-batang-terendam itu berarti menapak sejarah baru ke depan.

Catatan yang mungkin diberikan dari keterangan itu adalah bahwa tidak satu pun peristiwa atau suatu keadaan yang serupa akan terjadi kembali hari ini atau di masa yang akan datang. Mustahil. Nilai-nilai peristiwa itulah saja barangkali yang bakal diserap atau mengalami metamorfosa-nya sendiri-sendiri menjadi peristiwa lain yang futuristik.

Di zaman kita ini tampaknya, ada yang hendak berusaha mengembalikan masalalu dan seakan tak bersedia menerima perubahan dengan dada lapang. Perubahan, “kenyataan hari ini” itu, dipertanyakan dengan rasa kecewa yang mendalam. Ada yang salah dari perubahan-perubahan itu. Atau ada yang tidak semestinya dari perpindahan nilai-nilai suatu kebudayaan misalnya. Sehingganya kutukan-kutukan dilangsungkan kemudian. Dan suatu masa di masalalu, dianggap keadaan yang ideal. Mungkin itu pada masa Nabi, mungkin itu pada masa sahabat. Mungkin itu pada masa Datuk Parpatih dan Katumangguangan….

***

Para pengagum Marxian beranggapan, bahwa perubahan harus diciptakan, perubahan tidak lahir sendiri secara alamiah. Sementara para strukturalis menganggap perubahan yang baik adalah perubahan yang alamiah terjadi. Walaupun terdapat perbedaaan dalam memandang perubahan di antara keduanya, tetap ada kesepakatan tampaknya bahwa perubahan sesuatu yang terus dan akan terjadi, terus dan akan berlangsung sampai kapan pun. Sesuatu yang niscaya. Menyesali perubahan yang terjadi adalah pesimistik yang menakutkan kita hari ini. Baik itu terhadap perubahan ke arah yang lebih baik maupun sebaliknya.

Apalagi di Minangkabau. Tak ada seseorang yang benar-benar diagung-agungkan, tak ada figur yang menjadi begitu top, tak ada pengkultusan terhadap seseorang ulama atau cerdik-cendikia: Sehingganya tak ada suatu pun masa yang dianggap paling ideal. Sebab kita akan tahu, orang hidup dalam kesalahan ke kesalahan, sebab sehebat apapun seseorang, dia kelak akan mati, akan tak ada: Seideal apa pun suatu keadaan, keadaan itu terikat pada waktu dan ruang—pada Sejarah. Maka seseorang lain akan lahir menggantikannya, seseorang lagi, dan lagi; suatu masa akan digantikan masa yang lain—yang baru. Apakah yang lahir itu sehebat dan sebaik yang telah pergi, yang telah tak ada, yang pasti perubahan terjadi setiap waktu. Dan manusia, pelaku sejarah itu sendiri harus siap-sedia menghadapinya, menyiasatinya, dan hidup secara bersahaja di dalamnya, di dalam kecamuk perubahan itu untuk mencapai apa yang terbaik yang ia mampu menurut kadar zamannya pula.

Maka sungguh aneh misalnya, jika terjadi pengkulutsan macam itu di sini, di Minangkabau ini sekarang. Pengkultusan itu: sebuah euforia terhadap suatu masa mungkin, masalalu. Sungguh aneh, namun bisa menjadi tak aneh sekaligus. Karena Minangkabau berubah, dan terus berdinamika. Karena inilah Minangkabau hari ini, yang suka bereuforia dengan masalalunya yang gilang-gemilang itu—entah masalalu yang mana.

Padang, 2008